HAJI ADALAH IBADAH
Oleh: Ahmad Fatah[1]
Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh (PHU)
Kementerian Agama, Nizar Ali menyatakan bahwa kuota haji Indonesia tahun 2019
adalah 231.000 jamaah. Hal ini mengalamai kenaikan 10.000 kuota dibanding tahun
lalu sebesar 221.000 jamaah. Seluruh jamaah calon haji Indonesia tersebut di berangkatkan secara bertahap
sesuai kelompok terbang (kloter) masing-masing. Berbagai macam persiapan telah
disiapkan oleh jamaah calon haji maupun penyelenggara haji. Persiapan tersebut
meliputi persiapan pra haji, dalam proses haji, dan pasca haji. Semua persiapan
itu agar proses ibadah berlangsung dengan khidmat dan berkualitas.
Dalam
kalender hijriyah bulan ini disebut dengan bulan Dzulhijjah, yaitu bulan kedua
belas dalam kelender hijriyah. Secara bahasa Dzulhijjah berarti bulan haji.
Karena pada bulan Dzulhijjah inilah jamaah calon haji menjalankan rukun Islam
yang kelima di Tanah Suci Makkah.
Haji adalah
rukun Islam yang kelima. Sebagai rukun Islam haji adalah salah satu pilar
penting dalam Islam. Haji adalah ibadah yang membutuhkan berbagai macam hal.
Pelaksanaan segala sesuatu sangat terkait dengan aspek kesabaran, tak
terkecuali dalam melaksanakan ibadah haji. Dalam kegiatan pra haji saja
membutuhkan kesabaran yang ekstra, karena -semisal- daftar tunggu yang
bertahun-tahun, mengikuti rangkaian manasik, hingga berbagai seremonial
dari Tanah Air hingga tiba di Tanah Suci, bahkan hingga tiba (lagi) di tanah
air tercinta.
Kesabaran
sangat dibutuhkan saat melaksanakan ibadah haji. Hal ini karena haji adalah
ibadah yang membutuhkan berbagai kemampuan. Yaitu kemampuan fisik, kemampuan
finansial dan kemampuan keilmuan. Kemampuan fisik sangat dibutuhkan untuk dapat
menjalankan wajib dan rukun haji secara maksimal. Hal ini penting mengingat
rangkaian ibadah haji –seperti ihram, thawaf, sa`i, wuquf,
mabit, melempar jumrah, tahallul- dilaksanakan di berbagai tempat,
dengan tata cara yang berbeda, dan dengan kondisi iklim yang berbeda dengan tanah
air. Bahkan pada tahun ini, cuaca di Tanah Suci sangat terik, misalnya –menurut
tribunnews.com- pada Jumat 26 Juli 2019
suhu di Makkah mencapai 48 derajat Celcius. Ditambah lagi secara sosiologis,
adalah bertemunya jutaan jamaah haji dari segala penjuru dunia. Jelas ini
membutuhkan kemampuan fisik dan sosial yang baik. Selain kemampuan fisik, juga
dibutuhkan kemampuan finansial. Hal ini tentu yang berhubungan dengan
akomodasi, transportasi maupun kebutuhan-kebutuhan lain baik sebelum maupun sesudah
haji. Memang hal finansial sangat penting, tapi kiranya tidak berlebihan (isrof)
dalam menggunakannya. Kemampuan keilmuan juga dibutuhkan dalam menjalankan
haji. Hal ini sangat penting, karena sebagai ibadah dan rukun Islam yang
kelima, haji memiliki ketentuan, syarat, wajib dan rukun haji.
Ketentuan-ketentuan itulah yang dijadikan parameter sah atau tidaknya haji seseorang. Jadi
disinilah pentingnya kemampuan keilmuan. Dengan demikian sangat jelas, kalau
ketiga aspek diatas membutuhkan kesabaran ekstra dalam menjalankannya.
Kesabaran
setelah melaksanakan haji diwujudkan dalam perilaku yang lebih baik yaitu sabar
dalam menjalankan amar makruf nahi munkar, sabar dalam memberi keteladanan dan
kontribusi bagi keluarga dan masyarakatnya, dan sabar dalam menjaga konsistensi
ibadahnya. Tentu inilah makna haji mabrur, yaitu menjadi pribadi muslim
yang lebih baik di banding sebelumnya. Ada beberapa penjelasan mabrur dalam
perspektif hadis. Diantaranya adalah "Dan haji mabrur
itu tiada balasan bagi-nya melainkan Surga", Imam Yahya bin Syaraf
an-Nawawi menjelaskan bahwa makna yang paling masyhur bagi kata al-mabrur
yaitu ibadah haji yang tidak dicemari oleh perbuatan dosa. Kata tersebut
terambil dari kata al-birr yang bermakna "ketaatan"
atau “kebaikan”. Lebih jelas beliau mengatakan: "Ada juga orang yang
mengartikannya dengan al-maqbul yaitu haji yang diterima, dan di
antara tanda terkabulnya adalah kondisinya (setelah kembali dari ibadah
tersebut) menjadi lebih baik daripada sebelumnya, serta tidak mengulangi lagi
perbuatan maksiat".
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, berkata:
"Haji mabrur yaitu haji yang tidak tercemar oleh perbuatan dosa
sedikit-pun". Ada juga yang mengatakan: "Haji yang maqbul
(diterima) yang merupakan imbalan bagi suatu perbuatan kebajikan”. Beliau lebih
lanjut menjelaskan bahwa haji mabrur tidak akan terwujud kecuali jika
terpelihara dari segala bentuk bid'ah dan hal-hal yang merupakan tradisi
manusia, serta terlaksana dari hasil usaha yang halal, yang dengannya ia
berupaya untuk menjalankan kewajiban agama dan melaksanakan perintah-perintah
Allah Swt. Jadi indikator mabrur sebetulnya melekat bukan sekedar dalam
rangkaian ibadah haji itu sendiri, tetapi utamanya perilaku setelah menjalankan
haji menjadi lebih baik.
Akhirul kalam, haji bukan sekedar simbol, haji merupakan
ibadah yang mulia, penyempurna rukun Islam yang kelima. Semoga peningkatan
kuantitas jamaah calon haji tiap tahunnya, idealnya juga diimbangi dengan
peningkatan kualitas ibadah dan kualitas pelayanan serta penyelenggaraannya. Marilah
kita fahami dan renungkan al Baqarah ayat 197:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji.” Semoga diberi keselamatan dan menjadi haji yang mabrur.
Aamiin. Wallahu A`lam.
[1] Ketua Lembaga Ta`lif wan
Nasyr (LTN) NU Kudus dan juga Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.