Perhatian terhadap Muslim Uigur di Xinjiang sangat besar terutama negara Barat, lebih suka memfokuskan perhatian pada isu pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan rezim komunis di bawah kepemimoinan Xi Jinping. Terlebih saat pemerintah Tiongkok membangun kamp-kamp pendidikan dan pelatihan vokasi. Bahkan masyarakat Indonesia menyoroti hal ini dengan sentimen agama. Apalagi dengan suhu politik di Indonesia yang sangat panas terlebih masa Pemilihan Presiden (Pilpres) kemarin. Terlebih saat bulan Ramadhan banyak media yang memberitakan bahwa Muslim di Xinjiang dilarang untuk berpuasa.
Padahal Isu tersebut adalah isu lama kurang lebih sudah 23 tahun konflik horizontal. Tetapi kini isu Xinjiang diangkat kembali di tengah memanasnya hubungan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat dan juga sekutunya. Ini kebetulan atau tidak, tetapi faktanya isu ini mengemuka pada saat perang dagang antara kedua pemimpin ekonomi dunia sedang berkecamuk.
Terkait kamp-kamp pendidikan yang ada di Xinjiang, seorang peserta didik Kamp Vokasi, Mirkamiljan mengatakan: “Bagaimana tidak senang berada di sini. Keterampilan bisa kami dapat, berbagai keperluan juga difasilitasi,” kata pria 20 tahun dari etnis Uigur ini mengaku bahwa keikutsertaannya dalam program pendidikan dan pelatihan vokasi atas keinginan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak mana pun (h. 11).
Gubernur Xinjiang Shohrat pernah menyampaikan secara terbuka kepada media dan para duta besar negara sahabat Tiongkok. “Apakah ada yang salah dengan cara kami memperbaiki kualitas hidup warga kami agar tidak semakin terperosok dalam jurang kemiskinan. Kalaupun di kamp diajarkan bahasa nasional dan pemahaman tentang undang-undang negara, maka itu sudah kewajiban bagi pemerintah manapun untuk memfasilitasinya.”
Selain mengulas terkait isu Muslim Uigur buku “Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok” yang ditulis oleh para pelajar Indonesia di Tiongkok juga mengulas bagaimana kondisi Islam sesungguhnya di Tiongkok. Buku ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengalaman keislaman di Tiongkok, pada bagian pertama penulis juga menggambarkan bagaimana masyarakat Islam lokal menjalankan ibadah serta pandangan masyarakat non-Islam terhadap Islam.
Dalam bagian ini juga bisa dijadikan referensi bagi pembaca untuk mencari tempat wisata religi juga bagaimana cara mendapatkan makanan halal di Tiongkok. Salah satu cara mengatehui makanan halal, kita harus tahu karakter 清真 (qīngzhēn dibaca chingchen), selain karakter China itu biasanya tertulis dengan bahasa Arab yang bermakna makanan Muslim. Banyak sekali makanan dengan lebel halal tersebut. Jadi tidak usah khawatir jika berwisata ke Tiongkok.
Muslim Tiongkok sangat cinta terhadap tanah airnya sendiri. Seperti yang terdapat di pintu masuk Masjid Agung Changchun, Provinsi Jilin. Ada sebuah prasasti besar yang bertuliskan hubbul wathan minal iman dalam bahasa Arab dan di bawahnya tertulis dalam bahasa mandarin 爱国是信仰的一部分(baca: Àiguó shì xìnyÇŽng de yÄ«bùfèn) yang artinya cinta tanah air adalah sebagian dari iman, tulisan serupa juga banyak dijumpai di masjid-masjid di Tiongkok lainnya. (h. 71). Pada 21 Juni 2019 lalu Institut Pendidikan Islam Lanzhou (兰州伊斯兰教å¦é™¢) mewisuda 106 mahasantri. Ada empat poin yang ditekankan oleh Dekan Institut Pendidikan Islam Lanzhou, Ma Xuezhi (马å¦æ™º) kepada para wisudawan, yaitu: 1. Cinta tanah air dan juga menyebarkan sikap patriotrik, 2. Menjadi komunikator Islam di Tiongkok, 3. Menjadi pelopor perilaku positif, 4. Menjaga persatuan dan keharmonisan.
Artinya spirit nasionalisme ini terus ditumbuhkan kepada kader-kader penerus Islam di Tiongkok. Dengan mencintai tanah air, tentunya warga Muslim Tiongkok akan semakin peduli pada negara dan berupaya terus untuk semakin memajukannya. Ketika semua warga negara menunjukkan cinta dan kepeduliannya secara nyata, tidak bisa dibendung lagi, negara Tiongkok akan menjadi negara yang populasi Islam terbesar.
Tidak hanya berbicara tentang kondisi keislaman di Tiongkok, pada bagian kedua para penulis menceritakan proses pendaftaran beasiswa Tiongkok, juga kemajuan Tiongkok baik dalam teknologi maupun ekonomi digital yang pesat. Berdasarkan laporan dari Boston Consulting Group, saat ini nilai ekonomi berbasis digital di Tiongkok sudah melampaui $16 trillion dan menjadi salah satu negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di dunia.
Ini juga tidak lepas dari dukungan penuh pemerintah pusat untuk mengembangkan ekonomi berbasis internet, (h. 115). Hal tersebut bisa dijadikan alasan mengapa Tiongkok sebagai pilihan negara untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Tidak kalah pentingnya, buku ini juga menjelaskan persaudaraan bagsa Indonesia dan masyarakat Tiongkok yang sudah terbangun dari ratusan tahun yang lalu. Selama abad ke-15 dan ke-16 masehi, pengaruh Etnis Tinghoa di Jawa sangat kuat. Terbukti ukiran batu di Mantingan Jepara, Masjid kuno, pecinan di Banten, konstruksi pintu di makam Sunan Giri Gresik, arsitektur keraton Cirebon, kontruksi masjid Agung Demak khususnya tiang penyangga masjid, dan kontruksi Masjid Agung Semarang, (h. 142).
Kejadian yang paling penting dalam penyebaran Islam Tionghoa di Indonesia dilakukan oleh Cheng Ho. Dia adalah seorang duta diplomatik dari Dinasti Ming. Dia disambut dengan hangat oleh masyarakat Indonesia. Tim ekspedisi Cheng Ho datang bersama ke Indonesia menggunakan 208 kapal. Anak buah kapal yang paling banyak adalah beragama Islam.
Buku ini tidak hanya menyajikan data-data yang diambil dari arsip dan buku yang ditulis oleh orang asing, namun juga menyertakan gambar penting tentang suasana kehidupan berislam di Tiongkok. Dengan membaca buku ini, kebencian-kebencian terhadap etnis Tionghoa yang selama ini muncul karena salah sangka dan turbulensi politik dapat terkurangi dengan menyelami lebih mendalam silang budaya maupun kisah-kisah kehidupan di Tiongkok yang ada di dalamnya.
Peresensi, Waki Ats Tsaqofi adalah Mahasiswa Master di Chongqing University, China serta Wakil Ketua PCINU Tiongkok.
Identitas Buku:
Judul Buku: Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok
Editor: Ahmad Syaifuddin Zuhri, dkk.
Cetakan: April 2019
Tebal buku: xxiv+220
Ukuran: 14,8 cm x 21 cm
ISBN: 978-602-61490-4-6
Penerbit: Aswaja Nusantara Press
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.