Oleh Fathoni Ahmad
Perjuangan Nahdlatul Ulama hingga berhasil bersama para tokoh nasionalis dan rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H belum berhenti. Selain harus menghadapi agresi militer Belanda II, para tokoh pesantren juga harus menghadapi kelompok-keompok pemberontak. Justru perjuangan melawan pemberontak bagi NU tidak kalah hebatnya karena tak lain melawan bangsanya sendiri.
Kelompok pemberontak tersebut ialah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) prakarsa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu digerakkan oleh Dipo Nusantara Aidit, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan oleh Letkol Achmad Husein, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dimotori oleh Lektol Venjte Sumual, Kolonel D.J. Somba, dan Mayor Eddy Gagola.
Sejarah mencatat, para pemberontak membawa misi ideologi mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Di antaranya PKI dengan komunismenya, DI/TII dengan negara Islamnya, PRII/Permesta, dan pemberontakan lainnya. Pemberontakan yang terjadi merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan karena legitimasi ideologi, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan para pemberontak, termasuk dari korban dari kalangan pesantren.
Pancasila dan UUD 1945 bagi NU adalah dasar negara yang sudah final berdasarkan kesepkatan bersama seluruh bangsa Indonesia. Sebab itu, NU selalu konsisten membela negara dan mempertahankan Pancasila dari hadangan kelompok mana pun hingga sekarang. Indonesia yang sudah terbukti mampu bersatu bagi para kiai sudah sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi, al-baqa’ ashalu minal ibtida’ (melanjutkan lebih mudah daripada memulai). (Lihat Syaikhul Islam Ali, Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama, 2018)
Dari prinsip hukum Islam tersebut, NU memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah selesai dan final. Tidak perlu lagi dasar negara dan prinsip dasarnya diotak-atik dan dan diubah. Para ulama terdahulu beserta tokoh bangsa sudah berusaha merumuskan dasar negara yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Tidak hanya kepentingan umat Islam, tetapi juga umat agama lainnya.
Dari tekad dan upaya yang terus berusaha menjaga Pancasila dan UUD 1945 membuat NU jadi kelompok Islam yang kerap berhadapan dengan para pemberontak yang ingin mengubah dasar negara. Argumentasi teologis, sosial, dan budaya yang diperkuat NU dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara seringkali membuat para pemberontak kesusahan. Apalagi komitmen pergerakan NU dalam menghadang dan menumpas keganasan para pemberontak.
Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang termaktub dalam sila pertama dalam Pancasila ingin diubah menjadi “Kemerdekaan Beragama” oleh PKI. Padahal, “Kemerdekaan Beragama” merupakan esensi dasar demokrasi Pancasila. Pemerintah Indonesia menganjurkan setiap warga negara memeluk agama dan menjalankannya berdasar keyakinan masing-masing.
Upaya penjajahan dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17 tahun.
Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II. Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama, keduanya sama-sama ateis dan materialis. Karena itu, sekeras apapun permusuhan kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan bahu-membahu.
Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II. Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan Madiun.
Bahkan jauh sebelumnya, Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)
Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”
Karena dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang mengetahui siapa dalang bughot tersebut.
NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika banyak orang belum mengethaui siapa dalang G 30 S, NU telah menuntut agar pemerintah membubarkan PKI.
Sekilas dilihat, upaya bughot (memberontak) sebagian besar dimotori oleh tentara yang sudah merasa tidak sejalan dengan visi pemerintahan yang ada dengan kecenderungan politik kekuasaaan yang tinggi. Di beberapa literatur sejarah menyebutkan, proklamasi kemerdekaan RI dibarengi gerakan hijrah pasukan, baik dari tentara nasional, Hizbullah dan Sabilillah dari kawasan jajahan Belanda ke kawasan RI.
Gerakan pembersihan dalam bentuk hijrah tersebut menyisakan beberapa tentara. Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisir secara perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan perlawanan terakhir.
Dijelaskan oleh Abdul Mun’im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisir kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah itu mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10 Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan maklumat Pemerintah Islam Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam menggantikan Republik Indonesia yang dianggap kafir dan komunis.
Kondisi keamanan nasional seketika kacau apalagi PKI merespon DI/TII yang menganggap bahwa Indonesia merupakan negara komunis dengan menggelorakan perlawanan dengan mengadakan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Jika DI/TII ingin mendirikan Negara Islam, PKI berupaya menegakkan Negara Soviet Indonesia.
Penghianatan yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI ini mendorong NU sebagai satu-satunya organisasi yang loyal terhadap NKRI untuk segera mengangkat Soekarno sebagai waliyyul 'amri yang sah sehingga diharapkan bisa menyingkirkan semua yang memberontak dan memusuhi negara.
Sikap NU dan pesantren yan tegas terhadap aksi pemberontakan menyebabkan mereka dimusuhi oleh DI/TII. Beberapa perangkat dakwah NU menjadi sasaran teror. Pesantren, masjid, madrasah NU dibakar, bahkan beberapa kiai diculik dan harta benda dirampas dengan tidak berperikemanusiaan. Bahkan salah satu kiai NU, KH Idham Chalid menjadi sasaran pembunuhan.
Terhadap gerakan-gerakan subversif ini, para kiai tidak tinggal diam begitu saja. Mereka tidak mau bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar konsensus (kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur hanya karena kepentingan kelompok tertentu yang a historis. Aksi gerombolan DI/TII bukannya menguntungkan umat Islam tetapi malah menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII.
Gerakan DI/TII yang sudah melampui batas kemanusiaan dan konsensus bersama negara berdasarkan Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan, dan partisipasi aktif dari para kiai. Dalam buku memoarnya (2008), KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).
Penulis adalah Redaktur NU Online
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.