THE
TASTE OF JAVA
DALAM BINGKAI GUSJIGANG
Nur Said
Ketua
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM)
Nahdlatul
Ulama Kudus. Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kudus; Anggota tim
penyusun Ensiklopedi Islam Nusantara,
Edisi Budaya, Kemenag RI
Email:
nursaid@iainkudus.ac.id
Baru-baru ini Bupati Kudus (29/09/2018) meluncurkan
sebuah program prestesius dan distingtif
branding pariwisata Kabupaten Kudus yang dikenal dengan The Taste Of Java (TOJ). TOJ
menggambarkan cita rasa, selera, perasaan pariwisata di Kudus yang memiliki
banyak objek wisata. Dari wisata alam, religi, budaya, dan industri rokok,
jenang, kertas, dan lain-lain.
Program
TOJ ini perlu dikawal dan dilanjutkan terus, meskipun Bapak Bupati Kudus sedang
mendapatkan ujian berat beberapa hari yang lalu dengan kasus OTT itu. Kebijakan
ini patut diapresiasi dan sekaligus dikritisi agar dalam eksekusi kebijakan
tidak menabrak rambu-rambu khazanah warisan budaya khas Kudus yang lebih
esensial yang dikenal dengan GusJiGang
(Bagus, Ngaji dan Dagang).
Apresiasi
diberikan karena paling tidak pemerintah Kabupaten Kudus sudah menunjukkan
kesadaran budaya (cultural awareness)
sebagai basis pembangunan tata kota dan pemerintahan dalam lima tahun ke depan.
Namun kesadaran budaya saja tidak cukup dalam melakukan kebijakan inovatif bagi
pembanguan sebuah daerah sarat dengan nilai-nilai religiousitas ini.
Yang
menarik tagline TOJ juga telah
didukung dengan logo yang memiliki simbol yang terdiri dari beberapa ornamen
yakni antara lain Menara Kudus, sayap kupu-kupu, dan daun tembakau. Ketiga
simbol ini menurut penjelasan pihak pemerintah merupakan ciri Kabupaten Kudus. Bahkan
Menara Kudus merupakan simbol ikonik dari kota Kudus.
Etos Gusjigang Dibalik Menara Kudus
Yang tak boleh dilupakan adalah bahwa dibalik warisan
budaya Menara Kudus, hal itu merupakan penanda adanya pesan moral etos
spiritual enterpreneurship yang dikenal dengan Gusjigang (Bagus, Ngaji dan Dagang).
Coba kita cermati secara detil dari segi struktur
bangunan Menara Kudus dari pondasi, tubuh hingga atap Menara Kudus berikut
ornamen-ornamen yang ada merupakan pesan yang terekam dalam candra sengkala gapura rusak ewahing jagad. Gapura
ibarat gerbang pintu masuk sebuah peradaban, kalau rusak maka tatanan semesta
alam ini akan roboh.
Gapura apa yang dimaksud? Kalau kita cermati struktur
utuh style bangunan Manara Kudus tak
jauh beda dengan gaya bangunan balai kulkul Hindu di Bali atau candi Jago
peninggalan Budha di Malang. Padahal Menara Kudus sejak zaman Kangjeng Sunan
Kudus dimanfaatkan untuk panggilan sholat, adzan. Ini menunjukkan keteladaan baik
(Bagus) dari Sunan Kudus dalam menyampaikan Islam secara bijaksana alias
toleran atau tepo sliro. Secara fisik
bisa saja kita mengadopsi budaya apapun (Hindu atau Budha) sebagai wadah
dakwah, namun nilai-nilai Islam sebagai isi dari wadah itulah yang terpenting.
Inilah wujud kecerdasan budaya (cultural
intellegence) dari Sunan Kudus yang saat itu berdakwah dalam masyarakat
yang terselubung dalam nuansa budaya Hindu-Budha. Namun isi tetap norma-norma
Islam.
Sementara keindahan arsitektural dari Menara Kudus
yang penuh pesona menunjukkan Kangjeng Sunan Kudus memiliki kemahiran ilmu
arsitetur dan juga kepekaan seni yang tinggi. Bukankah produk sebuah budaya tak
lepas dari kapasitas keilmuan seseorang yang tinggi. Untuk memperolehnya tentu perlu
belajar (Ngaji). Semua ilmu hakekatnya
dari Allah, melalui ayat-ayat qouliyah
(wahyu) dan ayat-ayat kauniyah
(fenomena semesta alam), maka dikotomi ilmu umum dan ilmu agama sudah tidak
relevan lagi. Sudah saatnya para generasi santri mileneal ini menguasai
berbagai disiplin ilmu secara sinergik dan interdisipliner.
Sedangkan berbagai ornamen piringan China yang melekat
di tubuh Menara Kudus disinyalir itu produk dari proses kreatif bangsa China.
Bahkan secara khusus Nabi juga berpesan: belajarlah hingga ke negeri China.
Adanya produk China pada zaman Sunan Kudus mennjukkan sudah ada jaringan dagang
antara Kudus dengan bangsa-bangsa China. Inilah pesan semangat (Dagang) yang
telah ditanamkan oleh Sunan Kudus. Jaringan internasional dalam dagang sudah
terbangun sejak zaman Sunan Kudus yang kemudian berkembang hingga sekarang
mulai dari teknologi kretek, ukir gebyok, teknologi kertas bahkan sekarang
hingga elektronik.
Dengan demikian etos Gusjigang sudah dipraktekkan
sejak zaman kewalian sekitar abad ke-16. Maka kalau sekarang Bupati Kudus
meluncurkan program TOJ tidak boleh melupakan etos Gusjigang sebagai lambaran
kebijakan pembangunan pariwisata di Kudus agar tidak tercerabut dari akar
budayanya. Kebijakan pembangunan yang melupakan sebuah kemakluman budaya yang
nyata adanya dalam semiotika disebut sebagai impolite atau dalam tradisi Jawa disebut sebagai ra elok.
Gusjigang sebagai
Landasan Pacu The Taste of Java
Program TOJ ini menjadi menarik dan distingtif karena
semangatnya ingin menjadikan kearifan budaya Jawa khas Kudus sebagai icon
budaya yang akan menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik dari dalam maupun
dari luar negara.
Untuk itu perlu mengurai (budaya) Jawa khas Kudus itu
meliputi apa saja. Dalam berbagai teori antropologi aspek-aspek budaya
setidaknya meliputi 3 (tiga) hal: pertama,
budaya sebagai sistem ide, gagasan atau nilai. Termasuk dalam aspek ini adalah
etos Gusjigang. Kedua, budaya sebagai adat-istiadat, tradisi atau perilaku khas
Kudus, seperti dialeg Jawa bahasa Kudusan, dolanan tradisional, aneka seni tari
dan seni Islami yang berkembang di pesantren. Alur kehidupan umat manusia di
Kudus tak lepas dari tradisi khas Kudus. Sejak sebelum lahir, usia hamil,
semasa hidup hingga setelah mati. Alur kehiduan tersebut selalu diselingi
dengan tradisi seperti tradisi tingkeban, mitoni, sunatan, bancakan, slametan,
siraman, manaqiban, sunatan, barikan, kupatan, mbulusan, buka luwur dan lain
sebagainya. Ketiga, budaya bisa dalam wujud benda yang tersentuh, seperti
Menara Kudus, ukir gebyok rumah adat, wayang
klitik, wayang kentrung, bangunan masjid, keris, seni kaligrafi, lesung, termasuk
aksara pegon, berbagai naskah kuno (manuskrip) serta berbagai produk kuliner.
Begitu ragamnya potensi yang melimpah di Kudus
tersebut bagaimana agar mampu dikemas menjadi tawaran produk pariwisata yang
menarik dengan branding The Taste of Java.
Dalam hal ini perlu memetakan the
true problem masyarakat Kudus agar intervesi pemerintah dalam kebijakan TOJ
tepat sasaran. Silaturrahim ilmu pengetahuan adalah salah satu jalan keluarnya.
Maka perlu pendekatan berbasis masyarakat (community
based approach).
Menurut Prof Kuntjoro (2019), pendekatan berbasis
masyarakat, merupakan pendekatan yang
berorientasi pada pemecahan masalah yang bermartabat, yang menjalankan tugas
dengan tertib, disiplin dan bisa diterima oleh masyarakat itu sendiri. Dalam
hal ini perlu memperhatikan 4 hal: (1) Mengoptimalkan peran serta masyarakat;
(2) Mencerdaskan kehidupan masyarakat; (3) Memandirikan masyarakat; (4)
Mensejahterakan kehidupan masyarakat baik secara lahir maupun batin.
Kalau menjadikan Gusjigang sebagai core values dalam pengembangan TOJ maka
perlu upaya tahapan intervensi pemerintah dengan proses riset pendahuluan yang
melibatkan masyarakat di berbagai desa
yang antara lain dalam tahapan sebagaimana dalam bagan berikut:
Dalam konteks Gusjigang setiap desa bisa melakukan
pendekatan berbasis masyarakat untuk menangkap karakteristiknya
sendiri-sendiri. Dimanakah sentuhan atau kesalinghubungan antara etos
Gusjiagang dengan cita rasa Jawa Kudusan? Malalui assesment pendahuluan yang terbatas dan kontemplasi budaya dapat
penulis petakan melalui visualisasi dalam bagan berikut:
Logika Gusjigang dalam tiga entitas Gus, Ji dan Gang sebagaimana bagan di atas adalah saling kaitkelindan atau inter-conncecting. Tapi sebagai core values, semua berawal dari ilmu
sebagaimana Kangjeng Sunan Kudus yang dikenal sebagai Waliyyul ilmi karena tekun dalam mengaji (Ji), sehingga beliau dikenal sebagai
waliyyul ilmi yakni “Guru Agung” para
wali. Penguasaan ilmu yang diamalkan akan
melahirkan keshalehan perilaku (Bagus akhlak). Penguasaan ilmu yang
diamalkan juga berimplikasi akan melahirkan banyak produk-produk kreatif yang
bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia, mulai dari kuliner, batik,
karya literasi, teknologi kertas, elektronik, hingga teknologi komunikasi dan
informasi. Lahirnya produk-produk baru tersebut mendorong orang untuk
memasarkannya kepada konsumen sehingga melahirkan semangat enterpreneur (dagang).
Maka proyek TOJ perlu memperhatikan logika Gusjigang
yang saling berkait kelindan. Bukan sekedar mengedapankan aspek material cita
rasa Jawa sebagai komoditas yang berorientasi profit semata, tetap harus
memposisikan citra rasa Jawa (the taste
of Java) sebagai sumber nilai (values
resources), seperti nilai toleransi, nilai inovasi, nilai etik maupun
estetik yang bernilai tinggi yang bisa diadopsi dan diadaptasi oleh para
peziarah, wisatawan atau pelancong yang berkunjung di Kudus dalam menikmati
paket TOJ tersebut. Semoga berkah penuh manfaat. ***
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.