HEADLINE
latest
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Memahami Konsep al-Ishlah ila Ma Huwal Ashlah KH Ma’ruf Amin


Oleh Rokan Darsyah
KH Ma’ruf Amin mengajukan konsep al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah, atau yang dapat diartikan sebagai upaya perbaikan ke arah yang lebih baik lagi dan seterusnya. Penyempurnaan dan perbaikan (improvement) merupakan intisari dari konsep ini yang kerap disampaikan Kiai Ma’ruf dalam safarinya belakangan ini. Cukup sering pada ceramahnya, Kiai Maruf menyampaikan perlu adanya perbaikan terus menerus dalam segala hal, yang ia sebut juga sebagai continual improvement. 

Konsep continual improvement disampaikan Kiai Maruf dalam rangka melengkapi kredo NU yang telah lama diamalkan di kalangan nahdliyin yang berbunyi “Almuhafazhah alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga perihal lama yang baik dan mengadopsi gagasan baru yang lebih baik), yang terus mendorong untuk NU khususnya dan umat Islam umumnya untuk terus terbuka pada kebaruan dengan tetap menjaga nilai-nilai baik yang telah teruji. Kredo tersebut bersama 4 karakter utama ahlussunah wal jamaah yaitu at-tawassuth (sikap di tengah-tengan), at-tawazun (seimbang dalam segala hal), al-i'tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleransi), telah menjadikan warga nahdliyin sebagai muslim yang moderat serta siap untuk menghadapi segala tantangan zaman.

Kembali kepada al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah, sesungguhnya konsep tersebut adalah sesuai dengan semangat zaman, zeithgeist, jika meminjam istilah Hegel seorang filsuf berpengaruh dari Jerman. Konsep continual improvement ini dipopulerkan oleh banyak organisasi yang mengikuti prinsip dan persyaratan dari standar sistem manajemen mutu ISO 9001 yang diterbitkan oleh ISO, organisasi internasional untuk standarisasi. Standar ISO 9001 pada mulanya diikuti penerapan persyaratannya oleh organisasi-organisasi di bidang manufaktur, yang kemudian diterima ke segala bidang usaha, dan kini banyak lembaga pelayanan publik juga turut mengadopsi dan berupaya memperoleh sertifikasi ISO 9001 sebagai bagian dari upaya mereka menghadapi tantangan zaman, terutama pada iklim kompetisi di bidang ekonomi antar negara kini yang berdampak luas pada bidang lainnya. 

Pada ISO 9001 sendiri, continual improvement tercatat sebagai persyaratan pada elemen 10, yang pada pokoknya tiap organisasi mesti menentukan peluang peningkatan, lalu bila terdapat ketidaksesuaian harus bereaksi, menghilangkan ketidaksesuaian yang terdeteksi, dan kemudian mengambil tindakan perbaikan agar ketidaksesuaian tersebut tidak terulang lagi. Peluang perbaikan juga bisa diambil dengan mengatasi tiap risiko-risiko yang teridentifikasi.  

Lantas pertanyaannya, apakah konsep tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Dengan rendah hati dan keterbatasan pemahaman penulis mengenai ilmu syariah, bahwa terdapat kaidah fiqih utama yang berbunyi   اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ    
yang kira-kira diartikan sebagai “Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”. Dalam konteks fiqih muamalah maliyah, terdapat hadis yang telah tercantum pada considerans dalam Fatwa DSN MUI Nomor 84/DSN-MUI/XII/2012 yaitu Hadis Mauquf Ibnu Mas'ud, yang berbunyi:

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ 

"Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, baik pula di sisi Allah." (HR Ahmad, Musnad Ibn Hanbal, kitab: al-Muktsirin min al-Shabahah, bab: Musnad Abdullah Ibnu Mas'ud, No. 3418)

Perlu diketahui, bahwa beberapa lembaga besar keislaman di Indonesia kini seperti Majelis Ulama Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan LAZISNU telah menerapkan ISO 9001, hal ini bisa jadi contoh awal bahwa prinsip continual improvement tersebut telah dianggap baik oleh lembaga yang cukup representatif bagi umat Islam Indonesia. Dengan menimbang kaidah fiqih dan dalil di atas, dan dalam konteks arus baru budaya ekonomi, maka semangat perbaikan berkelanjutan tersebut memang mesti digalakkan pada tiap organisasi, dan jika perlu menjadi inspirasi untuk perbaikan kualitas diri bagi tiap individu.

Berikutnya, apakah tulisan ini sedang mengendors penerapan ISO pada umat Islam, khususnya di Indonesia dan warga nahdliyin? 

Merujuk pada Tim Büthe & Walter Mattli, kedua profesor di bidang politik ekonomi tersebut dalam buku mereka yang berjudul “The New Global Rulers: The Privatization of Regulation in the World Economy”(2011), menyatakan bahwa International Organization for Standardization (ISO) telah menjadi salah satu regulator swasta utama ( privat regulator) yang kini menjadi tangan hukum yang tak terlihat ( The Invisible Hand of Law ) yang mengatur dunia melalui pengaturan sistem ekonomi dengan cara pemberlakuan standarisasi berskala internasional. Hal ini tentu saja menjadi aspek tantangan selain aspek peluang yang telah diserap oleh konsep al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah tadi, dan akan memicu diskusi selanjutnya mengenai upaya umat Islam Indonesia eksis dalam menghadapi perang ekonomi global kini.

Masalah lain yang perlu diperhatikan terkait budaya ekonomi Indonesia yaitu, mengenai budaya disiplin, komitmen dan etos kerja tinggi, respect, efektifitas, dan produktifitas. Ironinya, budaya tersebut secara nyata semakin hadir di masyarakat justru setelah adanya modernisasi budaya melalui penerapan standarisasi, termasuk ISO, di dunia ekonomi dan usaha di Indonesia. Hal ini bisa dibandingkan dengan posmodernitas dunia barat yang lahir justru setelah lelah dengan modernitas, dan posmodernitas tersebut menurut penulis direspon oleh ISO dengan adanya perkembangan ISO 9001 versi 2008 yang lebih mencerminkan semangat strukturalisme menjadi ISO 9001 versi 2015 yang memfasilitasi dan mengedepankan konteks organisasi (dapat diartikan sebagai semangat post strukturalis). Kontradiktifnya, konsep posmodernisme barat terlanjur tiba lebih cepat di Indonesia untuk diresepsi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya matang dalam modernisme.

Sebagai penutup, ada baiknya semangat konsep pribumisasi Islam di Indonesia melalui Islam Nusantara digunakan pula untuk pribumisasi konsep barat tersebut, termasuk ISO. Karena itu, adalah sudah baik bahwa konsep al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah mesti diterapkan dengan tetap mengamalkan almuhafazhah alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Wallahu a'lam

Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam PWNU DKI Jakarta, aktif di bidang standarisasi dan hukum industri.

Dari Pesantren, NU Mewarisi Obor Kenabian


Oleh Ubaidillah Achmad

Pesantren merupakan tempat yang memiliki bangunan sederhana, berupa mushalla, rumah kiai, dan kamar para santri. Pesantren melaksanakan proses pendampingan dan pembelajaran yang mencerahkan untuk membentuk sikap dan perilaku yang berbudi mulia. Pembentukan sikap dan perilaku seperti ini memerlukan rutinitas dan pembiasaan diri yang dilakukan secara terus-menerus.

Model pembelajaran pesantren menekankan pada pola komunikasi sistem keluarga dan kebersamaan, terjalin dengan ikatan kekelurgaan yang kokoh dalam kendali seorang kiai dan santri senior.

Dalam sistem kekeluargaan, sesama anggota keluarga, para santri dapat saling mempengaruhi dan mendukung untuk mendalami ilmu keislaman, merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan melakukan resolusi konflik sosial politik, seperti merespon konflik masyarakat, bangsa, dan negara.

Oleh karena itu, dalam memahami peran santri, kita perlu memahami latar belakang sistem kekeluargaan, baik dalam perilaku maupun sistem yang terbangun di dalamnya. Meskipun demikian, banyak dari perilaku santri yang didasarkan pada sistem nilai yang terbentuk di luar sistem keluarga. 

Kekhasan Pesantren
Dalam sistem pembelajaran, pesantren menerapkan model yang bersifat normatif, yaitu membentuk kesadaran diri dari hasil pencerahan keilmuan para kiai yang sesuai dengan visi kenabian, yaitu memahami keutamaan akhlak yang baik dan ketaatan kepada Allah.

Keutamaan akhlak dapat dipahami dari bentuk keseimbangan unsur jiwa manusia (roh, qalbu, aqal, nafs, jasad). Dalam sistem pembelajaran di pesantren, nasab bukan tujuan risalah, meski banyak kiai pesantren yang masih memiliki jalur nasab Walisongo dan nasab pejuang babat tanah Jawa masih memiliki kenasaban dengan Nabi Muhammad SAW.

Kesemua lingkaran geneologi ini sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Dengan tidak mengabaikan sikap hormat kepada keluarga kiai dan kenasaban Nabi Muhahammad SAW, para kiai lebih menekankan pada pembelajaran akhlak mulia, ketaatan dan tafaqquh fiddin (pendalaman agama) sesuai dengan standar prinsip keilmuan Ahlussunah wal Jamaah dan NU. Jadi, para santri dalam tradisi pesantren, telah sadar diri untuk menjaga agar tidak merusak akhlak yang baik yang sudah diajarankan oleh Nabi Muhammad SAW.

Di hari yang fitri, kalangan santri dan kiai telah menumbuhkan rasa kekeluargaan dengan saling memohon maaf. Hal ini merupakan perjumpaan untuk membuka tema dialog santri yang berbeda latar belakang dalam satu sistem pesantren.

Hari yang fitri menjadi media temu kembali setelah satu tahun penuh kesibukan, yang jarang bertemu antara kiai dan santri dalam kesatuan sistem. Suasana momentum pertemuan ini dapat merefleksikan rasa rindu antarsantri dan menguatkan politik santri versus politik identitas.

NU Mewarisi Obor Kenabian
Obor kenabian bagi para kiai, baik dari nasab Walisongo maupun dari mereka yang digembleng dalam tradisi pesantren, adalah obor yang masih menyala kuat pada gerakan Nahdlatul Ulama untuk pengembangan keilmuan abad pertengahan dan menjaga politik kebangsaan NKRI.

Dalam sistem kebudayaan Nusantara, obor ini menyalakan model Islam Nusantara. Semua santri saling memuliakan dan saling memberikan penghargaan, baik mereka yang cerdas dan pintar serta berakhlak yang baik maupun yang berkebutuhan khusus.

Di pesantren, para kiai selalu mengajarkan para santri agar setiap dari mereka tidak mengunggulkan kenasabannya, karena bukan dikatakan pemuda yang mengatakan, “Ini Bapak saya. Namun yang dikatakan pemuda, adalah yang secara tegas mengatakan, ‘Inilah saya.’”

Model kemandirian yang diajarkan di pesantren tidak hanya dalam hal belajar, mengatur keperluan belajar, dan menata kebersihan pakaian, namun juga diajarkan kemandirian dalam hal memberikan pandangan dan pemikiran yang bersumber dari kemampuan pemahaman dan pengalaman intelektual sendiri.

Model ini sangat efektif untuk meneguhkan sikap intelektual para santri di tengah konflik sosial dan menjawab problem masyarakat. Model ini yang memudahkan para santri mendampingi masyarakat untuk memilih prinsip kebenaran dan rencana setrategis melakukan transformasi budaya.

Model yang diterapkan para kiai pesantren dan NU ini tidak terlepas dari model yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Walisongo. Dari kilas balik model Nabi Muhammad SAW dapat dipahami bahwa ketika beliau membawa risalah, selalu menunjukkan rasa sayang yang tinggi kepada umat Islam dan menjadikan prinsip ajaran wahyu sebagai instrumen pertama dan utama dalam mendidik keluarga dan masyarakatnya.

Model ini telah diikuti oleh para Walisongo, yang nota benenya masih memiliki jalur kenasaban dengan Nabi Muhammad SAW. Walisongo memilih mengedepankan pembangunan pribumisasi Islam dengan konsekuensi menikahkan kenasabannya dengan masyarakat lokal, baik dari kalangan masyarakat umum dan kalangan keluarga kerajaan. Karenanya, sekarang ini dapat dibaca dari geneologi Walisongo sudah banyak dari mereka membaur dengan geneologi masyarakat lokal.

Para kiai dalam tradisi pesantren untuk penguatan NU mengajarkan para santri, mengedepankan ilmu dan adab (Man kāna muftakhiran bil māl wan nasab wa innamā fakharna bil ‘ilmi wal adab). Mereka yang tidak berilmu dan beradab, dapat diibaratkan bagaikan seorang yang tidak memiliki keindahan hidup dan bagaikan seorang yang yatīm, yang ditinggal wafat orang tuanya (Laysal yatim huwa man māta wāliduhū. Innamāl yatīm bi la ‘ilmin wa adab).

Secara psikologis, jika seseorang membanggakan nasabnya, sementara tidak mencerminkan kepribadian leluhurnya, maka akan membuat kesan negatif para leluhurnya. Berikut ini, bahaya membanggakan nasab: melemahkan kecerdasan, pemahaman, dan potensi diri atau melemahkan pengembangan pembentukan sikap kepribadian yang baik. Hal ini ditandai dengan ketergantungan diri kepada para leluhur sehingga tidak ada upaya memperbaiki kekurangan dan kesiapan menghadapi tantangan.


Penulis adalah khadim Pesantren Bait As-Syuffah An-Nahdliyah, Desa Sidorejo-Njumput Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah penulis buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng.
Tags:
#nu
#pesantren
Bagikan:
SABTU 15 JUNI 2019 20:30 WIB
Dinamika Politik dan Kekeliruan yang Dibenarkan Masyarakat
Dinamika Politik dan Kekeliruan yang Dibenarkan Masyarakat
foto: ilustrasi (inews.id)
Oleh: Abdul Rahman Ahdori

Masyarakat Indonesia tentu sudah tidak asing dengan agenda Pemilihan Umum (Pemilu). Sejak 1955 silam, kini hampir setiap lima tahun sekali masyarakat ikut terlibat dalam agenda yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Agendanya adalah pemilihan calon legislatif dan eksekutif (kecuali 1955-1999, hanya legislatif).

Sebagaimana disebutkan dalam UU Pemilu no 7 tahun 2017, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setidaknya, pada poin itu yang disebut dengan 'berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sikap masyarakat diperlukan sebagai bagian dari suksesi agenda demokrasi yang sesuai dengan harapan konstitusi. Selain itu, karakter yang muncul dari masyarakat tersebut akan menunjukan integritas Pemilu, apakah baik atau justru membahayakan untuk dilakukan kembali.

Rangkaian kegiatan Pemilu 2019 telah menjadi bagian dari penilaian masyarakat Indonesia hari ini, baik atau buruk tentu masyarakat yang dapat menilai itu semua. Namun, pada perjalanannya, di balik harapan penilaian dari masyarakat nyatanya masih ada kalangan tertentu yang sengaja menciptakan opini kekacauan Pemilu 2019 dengan berbagai upaya yang dilakukan.

Belum diketahui dari mana kelompok itu datang dan apa tujuan utamanya menciptakan opini yang dianggap memecah belah persatuan Indonesia itu. Yang pasti, banyak kalangan yang menyebut Pemilu 2019 ada kaitannya dengan kekalahan kaum fundamentalis yang bersembunyi di Indonesia.  

Wajar jika pada prosesnya bangsa Indonesia berseteru atas nama iman, agama, suku, dan lain sebagainya. Sejak dimulai tahapan Pemilu 2019 pada September 2018 lalu, isu agama terus naik menjadi topik penting yang perlu dibahas.

Bahayanya, politik atas nama agama ini menyebabkan sesama umat islam terus berlawanan arah dalam berbagai hal. Pemeluk non muslim semakin terpojokkan dan merasa tidak nyaman dengan posisi seperti saat ini. Terutama saat demonstrasi di Jakarta dengan jumlah massa yang besar dan dengan waktu yang dilakukan secara terus menerus oleh kelompok islam tertentu.

Terakhir kita saksikan demonstrasi menolak Keputusan KPU pada 21-22 Mei lalu, kerusuhan yang terjadi tidak mencerminkan bangsa Indonesia yang ramah dan beradab. Tanggal 21-22 Mei yang juga malam ke 25 Ramadhan seharusnya diisi dengan aktifitas ibadah yang giat, bukan malah membuat kerusuhan. Parahnya, kegiatan semacam itu diyakini sebagai Jihad melawan kemungkaran.

Menurut pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Solahuddin Wahid atau Gus Solah, aksi demonstrasi 22 Mei tidak berkaitan sama sekali dengan perintah agama soal jihad atau pembelaan terhadap agama Islam. Menurutnya, aksi itu lebih terkait dengan kepentingan politik.

"Ini enggak ada kaitan dengan bela Islam. Peserta pemilu keduanya Islam. Kiai Ma'ruf kurang Islam apa? Jadi, ini enggak ada hubungan dengan agama. Ini hanya soal ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019," kata Gus Solah seperti dikutip NU Online.

Ketua Kajian Ilmu Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Misbahul Ulum, dalam artikel berjudul 'Meluruskan Makna Jihad' berpendapat, jihad adalah ajaran vital dalam Islam. Bahkan, Rasulullah memosisikan jihad sebagai salah satu amal yang paling dicintai oleh Allah setelah amalan shalat dan berbakti kepada orang tua. Jihad juga wujud tanggung jawab seorang muslim terhadap agamanya.

Namun, terminologi jihad seringkali dikonotasikan dengan tindakan-tindakan terorisme, anarkisme, dan merusak. Sebenarnya, ini adalah anggapan yang keliru dan perlu segera diluruskan. Sebab, Jihad bukanlah aksi teror, jihad bukanlah meledakkan bom, jihad bukan melanggar hukum. Akan tetapi jihad adalah upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan seperti yang digariskan oleh Tuhan.

Kegiatan demonstrasi tentu dilindungi UU, tetapi membuat kegaduhan dan kerusakan tidak menjadi harapan bangsa Indonesia, apalagi situasi yang tidak mendukung. Dikhawatirkan akan menyebabkan suasana semakin tidak terarah. Puncaknya, bangsa Indonesia bertengkar hanya karena segelintir orang yang ingin merebut kekuasaan.

Belum lagi dengan aksi yang dilakukan beberapa kali sejak tahapan Pemilu. Sebagai bangsa yang cerdas, patut curiga ada apa sesungguhnya negeri ini, mengapa ada kelompok yang merasa seolah yang dilakukannya adalah jalan menuju ridha Tuhan. Padahal, agenda politik hanya persoalan pengalihan kepemimpinan, tidak semestinya dikaitkan dengan iman dan akidah seseorang, meski ada perintah tunduk dan taat pada pemimpin yang seiman dan seagama. Tidak harus melakukan tindakan yang justru memakan korban jiwa, sebagaimana pada aksi 21-22 telah menelan 9 korban jiwa hanya karena doktrin yang keliru soal agama dan cara mengamalkan nilai agama tersebut.

Mungkin benar yang dikatakan Harun Nasution dalam buku Islam ditinjau dari berbagai Aspek, bahwa filsafat dan agama perlu dimiliki masyarakat sebagai modal awal berfikir rasional dan terarah.

Ia menuturkan, filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama. Wallahu A'lam Bisawab

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, Jurnalis NU Online
SELASA 11 JUNI 2019 11:0 WIB
Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa
Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa
Oleh Dito Alif Pratama

Idul Fitri merupakan momentum suci nan agung. Umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air tentunya memiliki cara tersendiri untuk menyambut datangnya hari kemenangan tersebut, begitupun masyarakat Jawa yang terbiasa melaksanakan Lebaran ketupat, yang kerap dianggap sebagai pelengkap hari kemenangan.

Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali pelaksanaan Lebaran, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah satu minggu setelahnya (8 Syawal). Tradisi Lebaran ketupat diselenggarakan pada hari ke delapan bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa Syawal selama 6 hari. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 Hari di bulan Syawal.

Dalam sejarahnya, Lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat, yaitu jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong, kemudian dimasak.. Setelah masak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat aneka macam bentuk ketupat yang dimiliki tiap-tiap daerah yang juga memiliki arti dan maksud tersendiri. Sebut aja ketupat Bawang khas Madura, ketupat ini berbentuk persegi empat dan dianggap sebagai ketupat penyedap, sebagaimana bumbu masak berupa bawang. Juga ada Ketupat Glabed yang dipopulerkan oleh masyarakat Tegal, Kupat glabed adalah ketupat yang dimakan dengan kuah berwarna kuning kental. Sedangkan penamaan ketupat ini pun berasal dari ucapan orang Tegal yang mengekspresikan kekentalan kuah ketupat tersebut dengan istilah Glabed-glabed-glabed!. Juga ada  Ketupat Bebanci khas Betawi, Sesuai dengan namanya, ketupat bebanci adalah masakan dengan unsur utamanya adalah ketupat. Ketupat ini disantap dengan kuah santan berisi daging sapi dan diberi aneka bumbu seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, dan rempah-rempah.

Filosofi Ketupat

Penggunaan istilah ketupat dalam Lebaran ketupat tentu bukan tanpa filosofi yang mendasarinya, Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu “ngaku lepat” (Mengakui Kesalahan) dan laku papat (empat tindakan).

Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya. Ini merupakan sebuah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya begitupun orang tua kepada anaknya.

Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya berkutat pada tradisi sungkeman seorang anak kepada orang tua, lebih jauh lagi adalah memohon maaf kepada tetangga, kerabat dekat maupun jauh hingga masyarakat muslim lainya, dengan begitu umat Islam dituntun untuk  mau mengakui kesalahan dan saling memaafkan dengan penuh keikhlasan yang disimbolkan dengan ketupat tersebut. Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya nantinya mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya, apabila ketupat tersebut dimakan secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah dan khilaf antar keduanya terhapus.

Untuk istilah laku papat (empat tindakan), masyarakat Jawa mengartikanya dengan empat istilah, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran berarti akhir dan usai, yaitu menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan siap menyongsong hari kemenangan. Sedangkan Luberan bermakna meluber atau melimpah, layaknya air yang tumpah dan meluber dari bak air. Pesan moral yang dihendak disampaikan dari luberan adalah budaya mau berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin, dengan begitu akan membahagiakan para fakir miskin dan diharapkan angka mengikis angka kemiskinan yang ada di negara kita. Adapun Leburan berarti habis dan melebur. Yaitu momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain, dengan kata lain dosa kita dengan sesama dimulai dari Nol kembali. Yang terakhir adalah Laburan yang berasal dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair, dari ini Laburan dipahami bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih nan putih layaknya sebuah kapur. Karena itu merupakan simbol kejernihan dan kesucian hati yang sebenarnya.

Demikian pesan moral yang hendak disampaikan Lebaran ketupat kepada umat Islam, yang semuanya diyakini merupakan tuntunan yang luhur untuk bagaimana menajdi pribadi yang baik dan luhur di kemudian hari. Ada istilah ‘sayur tanpa garam akan terasa hambar” Demikian kiranya masyarakat Jawa memaknai Idul Fitri tanpa Lebaran ketupat, lebaran ketupat merupakan tradisi baik yang telah lama mengakar kuat dalam benak masyarakat muslim Jawa. Harapanya tradisi yang telah lama terjaga ini tetap bisa dilestarikan, dengan begitu mampu menjadi salah satu budaya keislaman yang tidak punah dari tanah jawa. Amin. Selamat Berlebaran Ketupat 1433 H.


Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan di Farabi Institute IAIN Walisongo Semarang, alumnus Pondok Modern Assalam Sukabumi



:::::

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 26 Agustus 2012, pukul 07.37. Redaksi menayangkannya ulang tanpa mengubah isi tulisan.

SABTU 8 JUNI 2019 21:20 WIB
Salah Kaprah Ucapan Selamat Idul Fitri
Salah Kaprah Ucapan Selamat Idul Fitri
Foto: Ilustrasi
Oleh Nine Adien Maulana
Ramadhan sudah berlalu. Umat Islam merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1438 H. Selama masa hari raya ini ucapan selamat (tahniah) yang paling populer yang sering disampaikan oleh banyak orang adalah minal ‘aaidiin wal faaiziin dan mohon maaf lahir batin. Media massa baik cetak maupun elektronik pun berperan besar mengampanyekan ucapan selamat ini. 

Saya penasaran fenomena itu, sehingga tertarik untuk melakukan survey sederhana. Setiap ada murid yang mengucapkan minal ‘aaidiin wal faaiziin kepada saya, saya pun bertanya, “Apa maksudnya?”. Mereka pun menjawab, ”Mohon maaf lahir batin, Pak!”. Saya pun menyimpulkan bahwa selama ini ungkapan minal ‘aaidiin wal faaiziin dikira bermakna mohon maaf lahir batin. 

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, walaupun hanya sedikit, pasti akan mengatakan bahwa ini adalah tidak tepat. Dalam hal ini saya menganalogikannya seperti anak-anak SD yang baru saja belajar bahasa Inggris yang tahunya ada tulisan welcome di keset (alas yang difungsikan untuk membersihkan kotoran pada alas kaki), maka hal itu melekat dalam ingatan mereka bahwa bahasa Inggris keset adalah welcome. Karena kesalahan ini dilakukan secara massif, maka inilah yang dinamakan salah kaprah, salah tapi dilakukan banyak orang sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Bagaimana seharusnya yang ucapan tahni’ah yang tepat? Jika kita membaca literature, memang kita menemukan tradisi di kalangan para sahabat Nabi, yakni mengucapkan selamat (tahni’ah) kepada sesama umat Islam yang telah berhasil menyelesaikan puasa Ramadlan. Bunyi bacaan selamatnya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, namun ada pula yang menambahnya “taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Ada pula yang masih menambahnya “wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair”.

Jika ucapan selamat itu dirangkai memang menjadi sangat panjang, “taqabbalallaahi minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair” Artinya adalah “semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadlan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantia dalam kebaikan.”

Dari ucapan selamat yang panjang inilah, kita bisa lacak asal-usul ucapan minal “aaidiin wal faaiziin” yang artinya termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Dari sini pula kita sudah tahu kan bahwa ucapan tahniah ini tidak ada sangkut pautnya dengan mohon maaf lahir batin.

Sayangnya, ucapan tahniah yang panjang itu, yang juga bisa bermakna do’a itu, sampai pada kita mengalami penyusutan atau sengaja diringkas. Lebih parahnya meringkasnya juga kurang pas. Ibaratnya kita menyampaikan informasi tentang kuda, namun yang kita jelaskan adalah ekornya. Kita potong ekor kuda itu, lalu kita bawa potongan ekor itu kemudian kita sampaikan kepada semua orang bahwa ini adalah kuda. Kita merasa bahwa apa yang telah kita sampaikan adalah benar, sedangkan orang telah mengetahui kuda pasti akan tertawa dengan penjelasan kita tentang kuda itu.

Secara sederhana, kita tahu bahwa “aaidiin wal faaiziin” bukanlah kalimat yang sempurna (al-jumlatul mufiidah). Pasti mucul di benak kita lho kok tiba-tiba muncul “termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang (minal ‘aaidin wal faizin). Pasti ia tidak berdiri sendiri. Bacaan ini pasti terikat atau berhubungan dengan bacaan sebelumnya.

Dengan agak sedikit "memaksa" kita sebenarnya bisa berdalih bahwa bacaan itu bermakna do’a, sehingga boleh diucapkan dengan ungkapan singkat atau ada sesuatu yang disembunyikan (mahdzuf), namun untuk menterjemahkannya kita perlu memunculkan makna yang disembunyikan bacaannya itu, agar mudah dipahami. Dengan alasan ini kita bisa menterjemahkan “minal ‘aaidin wal faizin” dengan “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.

Kalau kita mau meniru apa yang dilakukan sahabat Nabi, sebenarnya yang paling tepat kita ucapkan adalah bacaan selamat panjang itu. Kalaupun itu telalu panjang, kita bisa menyingkatnya dengan bacaan yang paling populer di kalangan mereka, yaitu “taqabbalallaahu minnaa wa minkum”, bukan mengucapkan minal ‘aaidin wal faizin."

Alasannya adalah “taqabbalallaahu minnaa wa minkum” adalah bacaan yang telah sempurna struktur  kalimatnya. Selain itu, bacaan ini adalah paling populer di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, dibadingkan bacaan “minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Bahkan, saya menduga bacaan “minal ‘aaidiin wal faaiziin” tidak populer, untuk tidak mengatakan tidak pernah ada, di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa kita lacak pada kitab Fathul Bari karya Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau mengatakan dalam kitabnya itu, “Telah sampai kepada kami riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubai bin Nufair, ia berkata: “Jika Para sahabat Rasulullah saling bertemu di hari raya, sebagiannya mengucapkan kepada sebagian lainnya: “Taqabbalallahu minnaa wa minkum.” (Fathul Bari, juz II, halaman 446).

Bagaimana fakta di Indonesia? Ternyata yang populer adalah “minal ‘aaidiin wal faaiziin”. Inilah uniknya orang Islam di Indonesia. Mereka tidak menerima tradisi pengucapan tahniah ini apa adanya. Mereka malah mengkreasi tradisi baru ala Indonesia, walaupun kemudian menjadi salah kaprah.

Buktinya, “minal ‘aaidiin wal faaiziin” lebih populer dan dikira bermakna mohon maaf lahir batin. Selain itu mereka mengkreasi tradisi Halal Bi Halal yang tidak ada rujukannya secara khusus dari Islam atau dari tradisi Arab.

Inilah masalah budaya. Selama ia mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at, marilah bersikap moderat. Sikap moderat ternyata juga ditampilkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah saat ditanya tentang ucapan selamat di hari raya. Beliau menjawab, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat ‘Id dengan ungkapan, taqabbalallaahu minnaa wa minkum dan a’aadahullaahu ‘alaika serta ucapan sejenisnya, maka hal ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka melakukannya, dan telah diperbolehkan oleh para imam seperti Imam Ahmad, dan lain lain. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.” (Majmuu’ Fatawa (XXIV/253)

Meskipun saya lebih sependapat ucapan tahni’ah dengan “taqabbalallahu minnaa wa minkum daripada “minal ‘aaidiin wal faaiziin”, namun saya tidak bisa memaksakan kecenderungan saya ini kepada siapa pun, karena memang ini adalah masalah budaya. Dilakukan boleh tidak dilakukan pun juga boleh. Namun, jika anda lebih suka dengan “minal ‘aaidiin wal faaiziin”, kemudian mengartikannya dengan mohon maaf lahir batin, maka jelas saya tidak setuju. Ini jelas salah. Kalau tidak dibetulkan akan menjadi kaprah. Oleh karena itu, saya harus memaksa Anda untuk tidak mengartikan demikian agar tidak salah kaprah.


*) Ketua Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk, Megaluh, Kabupaten Jombang.

Saat NU Hadang Pemberontak Negara


Oleh Fathoni Ahmad

Perjuangan Nahdlatul Ulama hingga berhasil bersama para tokoh nasionalis dan rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H belum berhenti. Selain harus menghadapi agresi militer Belanda II, para tokoh pesantren juga harus menghadapi kelompok-keompok pemberontak. Justru perjuangan melawan pemberontak bagi NU tidak kalah hebatnya karena tak lain melawan bangsanya sendiri.

Kelompok pemberontak tersebut ialah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) prakarsa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu digerakkan oleh Dipo Nusantara Aidit, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan oleh Letkol Achmad Husein, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dimotori oleh Lektol Venjte Sumual, Kolonel D.J. Somba, dan Mayor Eddy Gagola.

Sejarah mencatat, para pemberontak membawa misi ideologi mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Di antaranya PKI dengan komunismenya, DI/TII dengan negara Islamnya, PRII/Permesta, dan pemberontakan lainnya. Pemberontakan yang terjadi merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan karena legitimasi ideologi, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan para pemberontak, termasuk dari korban dari kalangan pesantren.

Pancasila dan UUD 1945 bagi NU adalah dasar negara yang sudah final berdasarkan kesepkatan bersama seluruh bangsa Indonesia. Sebab itu, NU selalu konsisten membela negara dan mempertahankan Pancasila dari hadangan kelompok mana pun hingga sekarang. Indonesia yang sudah terbukti mampu bersatu bagi para kiai sudah sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi, al-baqa’ ashalu minal ibtida’ (melanjutkan lebih mudah daripada memulai). (Lihat Syaikhul Islam Ali, Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama, 2018)

Dari prinsip hukum Islam tersebut, NU memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah selesai dan final. Tidak perlu lagi dasar negara dan prinsip dasarnya diotak-atik dan dan diubah. Para ulama terdahulu beserta tokoh bangsa sudah berusaha merumuskan dasar negara yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Tidak hanya kepentingan umat Islam, tetapi juga umat agama lainnya.

Dari tekad dan upaya yang terus berusaha menjaga Pancasila dan UUD 1945 membuat NU jadi kelompok Islam yang kerap berhadapan dengan para pemberontak yang ingin mengubah dasar negara. Argumentasi teologis, sosial, dan budaya yang diperkuat NU dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara seringkali membuat para pemberontak kesusahan. Apalagi komitmen pergerakan NU dalam menghadang dan menumpas keganasan para pemberontak.

Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang termaktub dalam sila pertama dalam Pancasila ingin diubah menjadi “Kemerdekaan Beragama” oleh PKI. Padahal, “Kemerdekaan Beragama” merupakan esensi dasar demokrasi Pancasila. Pemerintah Indonesia menganjurkan setiap warga negara memeluk agama dan menjalankannya berdasar keyakinan masing-masing.

Upaya penjajahan dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17 tahun.

Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II. Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama, keduanya sama-sama ateis dan materialis. Karena itu, sekeras apapun permusuhan kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan bahu-membahu.

Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II. Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan Madiun.

Bahkan jauh sebelumnya, Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)

Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”

Karena dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang mengetahui siapa dalang bughot tersebut.

NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika banyak orang belum mengethaui siapa dalang G 30 S, NU telah menuntut agar pemerintah membubarkan PKI.

Sekilas dilihat, upaya bughot (memberontak) sebagian besar dimotori oleh tentara yang sudah merasa tidak sejalan dengan visi pemerintahan yang ada dengan kecenderungan politik kekuasaaan yang tinggi. Di beberapa literatur sejarah menyebutkan, proklamasi kemerdekaan RI dibarengi gerakan hijrah pasukan, baik dari tentara nasional, Hizbullah dan Sabilillah dari kawasan jajahan Belanda ke kawasan RI.

Gerakan pembersihan dalam bentuk hijrah tersebut menyisakan beberapa tentara. Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisir secara perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan perlawanan terakhir.

Dijelaskan oleh Abdul Mun’im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisir kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah itu mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10 Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan maklumat Pemerintah Islam Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam menggantikan Republik Indonesia yang dianggap kafir dan komunis.

Kondisi keamanan nasional seketika kacau apalagi PKI merespon DI/TII yang menganggap bahwa Indonesia merupakan negara komunis dengan menggelorakan perlawanan dengan mengadakan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Jika DI/TII ingin mendirikan Negara Islam, PKI berupaya menegakkan Negara Soviet Indonesia.

Penghianatan yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI ini mendorong NU sebagai satu-satunya organisasi yang loyal terhadap NKRI untuk segera mengangkat Soekarno sebagai waliyyul 'amri yang sah sehingga diharapkan bisa menyingkirkan semua yang memberontak dan memusuhi negara.

Sikap NU dan pesantren yan tegas terhadap aksi pemberontakan menyebabkan mereka dimusuhi oleh DI/TII. Beberapa perangkat dakwah NU menjadi sasaran teror. Pesantren, masjid, madrasah NU dibakar, bahkan beberapa kiai diculik dan harta benda dirampas dengan tidak berperikemanusiaan. Bahkan salah satu kiai NU, KH Idham Chalid menjadi sasaran pembunuhan.

Terhadap gerakan-gerakan subversif ini, para kiai tidak tinggal diam begitu saja. Mereka tidak mau bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar konsensus (kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur hanya karena kepentingan kelompok tertentu yang a historis. Aksi gerombolan DI/TII bukannya menguntungkan umat Islam tetapi malah menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII.

Gerakan DI/TII yang sudah melampui batas kemanusiaan dan konsensus bersama negara berdasarkan Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan, dan partisipasi aktif dari para kiai. Dalam buku memoarnya (2008), KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).


Penulis adalah Redaktur NU Online

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di antara Dua Kutub Intelektual Islam


Oleh R. Ahmad Nur Kholis

Sampai pada permulaan abad ke 19, yakni sebelum pemberontakan Ibnu Sa’ud, Makkah adalah pusat intelektual Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Banyak para ulama di berbagai negara dan juga di Nusantara adalah lulusan pendidikan di sana. Makkah menjelma sebagai pusat studi keislaman dunia dan bersaing dengan Tunisia dan Mesir.

Berbicara mengenai kegiatan intelektual di Makkah, banyak para ulama dan guru besar di sana ketika itu adalah berasal dari Indonesia. Dan khususnya pada paruh terakhir abad ke-19 sampai sebelum 1924, ada dua kutub intelektual yang berpengaruh di sana. Keduanya dari Indonesia, yakni: Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M) dari Banten dan Syekh Mahfud At-Tirmisi (1868-1919 M) dari Termas Pacitan. Keduanya merupakan guru besar madzhab Syafi’I di Makkah. Selayaknya ulama pesantren khususnya di masa itu, keduanya pula merupakan tokoh intelektual multidisipliner dalam studi Islam. Meskipun Syekh Mahfud At-Tirmisi sangat terkenal dan menonjol dalam bidang Hadits.

Berdasarkan penilaian akan pengaruh pemikiran, Abdurrahman Mas’ud (2004) dalam buku hasil disertasinya berjudul: Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi menyebutkan: bahwa Syekh Nawawi dalam intelektualitasnya banyak dipengaruhi oleh guru-gurunya: Syekh An-Nahrawi (Mesir); Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Makkah); Sayyid Ahmad Dimyati (Makkah); dan Syekhh Ahmad Khatib Sambas. Sedangkan Syekh Mahfud Termas secara Intelektual banyak dipengaruhi oleh: Syekh Muhammad Sa’id Al-Hadlrami (Makkah); Kiai Abdullah (Pacitan), yakni ayahnya sendiri; Sayyid Abu Bakar Shata Al-Makki; dan Kiai Shaleh Darat. Kedunya yakni Syekh Nawawi dan Syekh Mahfud pernah bertemu dan memiliki hubungan intelektual. (Mas’ud, 2004:89)

Keduanya baik Syekh Nawawi maupun Syekh Mahfud At-Tirmisi masing-masing memiliki murid yang secara intelektual pemikirannya diwarnai oleh mereka. Salah satu murid paling berpengaruh Syekh Nawawi adalah Kiai Kholil Bangkalan. Sedang murid paling berpengaruh Syekh Mahfud adalah Kiai Asnawi Kudus. (Mas’ud, 2004:89).

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sendiri dalam penilaian Mas’ud (2004:89) adalah ulama yang secara intelektual dipengaruhi oleh keduanya; yakni Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfud Termas. Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari pun pernah belajar kepada keduanya.

Mas’ud mencatat bahwa kenyataan bahwa sepulang dari Makkah Kiai Hasyim Asy’ari kemudian memperkenalkan kitab Hadits koleksi Al-Bukhari beserta sanadnya dan kitab Muhibah dzi Al-Fadhal Syarhu Muqaddimah ba Fadhal yang ditulis Syekh Mahfud sebanyak 4 jilid adalah bukti bahwa betapa terkesannya Kiai Hasyim Asy’ari kepada Syekh Mahfud. 

Bukti yang lebih meyakinkan lagi adalah bahwa Kiai Hasyim adalah salah satu dari sedikit orang di antara murid Syekh Mahfud yang mendapatkan ijazah sanad secara langsung dari Syekh Mahfud untuk mengajarkan hadits kepada masyarakat umum. (Mas’ud, 2004:201)

Adapun tentang pengaruh Syekh Nawawi pada diri Kiai Hasyim Asy’ari adalah bahwa setiap kali Kiai Hasyim selesai mengajarkan kitab Fathul Qarib di pesantrennya pada saat selesai shalat ashar, Kiai Hasyim selalu teringat dan menceritakan kisah kehidupan Syekh Nawawi kepada murid-muridnya sembari meneteskan air mata menunjukkan kenangan yang berarti. (Mas’ud, 2004:108). 

Kedua ulama tersebut baik Syekh Nawawi Banten maupun Syekh Mahfud At-Tirmisi sama-sama mengakui bahwa Kiai Hasyim Asy’ari adalah salah satu diantara murid terbaiknya.


Penulis adalah seorang pendidik yang tinggal di Malang, Jawa Timur